http://www.kompas.com
Jumat, 28 Maret 2008 | 02:24 WIB

s_k19a45303_high_thumb.jpg (source: http://www.tempointeraktif.com)

Kalian siapa?” seorang laki-laki tua berkain sarung bertanya dengan nada berang. Ia menghampiri saat kami memotret spanduk-spanduk anti-PLTN yang terpampang di sepanjang jalanan Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Awalnya kami mengira orang itu termasuk kelompok masyarakat pendukung PLTN. Tetapi, perkiraan itu salah. ”Sampai mati saya tidak setuju PLTN,” ujarnya, masih dengan nada tinggi.

Beberapa saat sebelumnya, puluhan warga mengadang dan menginterogasi penumpang sebuah mobil yang datang ke Fasilitas Pemantauan Keselamatan dan Penelitian PLTN milik Batan. Fasilitas yang dibangun di atas tanah bengkok carik di Balong itu kini kosong, setelah pada tanggal 28 Februari 2008 disegel warga. Tembok setinggi satu meter dengan pecahan kaca di atasnya menutup gerbang masuk kantor ini.

Semangat menolak PLTN terasa kental di antara 100-an warga yang kami temui di desa itu. ”Di sini yang pro-PLTN paling banyak lima persenan,” ujar Kasmiran (50-an), seorang warga desa.

Menurut penasihat Persatuan Masyarakat Balong (PMB), Sunarto (48), pemerintah ikut menciptakan ketegangan dan perpecahan warga. Di Balong dan beberapa desa sekitar, diam-diam telah dibentuk kelompok-kelompok pendukung PLTN yang sering mengadakan pertemuan.”Yang datang biasa diberi uang Rp 25.000. Mereka juga biasa mengiming-imingi proyek jika mendukung PLTN. Saya pernah ditawari akan diberi Rp 20 juta kalau mau menggalang massa untuk mendukung PLTN. Tetapi, dikasih Rp 50 juta pun saya tak akan mengkhianati rakyat Balong,” kata Sunarto.

Situasi itu memperlihatkan pentingnya pemetaan jaringan kepentingan di dalam masyarakat seperti diusulkan sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola. Masyarakat, sebagaimana pemerintah dan pasar, bukan entitas yang satu. Bahkan, kepentingan-kepentingan di dalam kelompok yang mendukung maupun yang menolak pembangunan PLTN spektrumnya sangat panjang.

Salah satu kelompok ”bentukan” itu, katanya, dimaksudkan untuk menjembatani dua pihak yang berpunggungan. ”Tetapi malah mengarahkan masyarakat untuk mendukung PLTN,” ujar Sumedi dari Persatuan Masyarakat Balong (PMB).

Kemudian juga ada semacam lembaga swadaya masyarakat yang memberi janji pekerjaan kalau PLTN dibangun. ”Padahal yang dibutuhkan pasti paling rendah S-1. Kami jadi semakin merasa dibodohi,” ujar Aris Susanto (36), warga Balong.

Nasib desa tetangga

Masyarakat Balong tampaknya melihat contoh di desa-desa terdekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjungjati B yang baru setahun beroperasi. Sebelum PLTU dibangun, masyarakat juga diiming-imingi pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.

Dari Dukuh Tukrejo, Desa Bondo, Kecamatan Mlonggo, sekitar dua kilometer dari lokasi PLTU, asap hitam dari cerobong mengepul ke udara. Lampu di rumah penduduk padam siang itu. ”Biasa, di sini kalau hujan mati lampu,” ujar Priyo (32), seorang nelayan. ”Kan listriknya memang bukan untuk kami.”

Kata Priyo, sejak PLTU itu beroperasi, penghasilan mereka jatuh. ”Kalau mau dapat ikan seperti dulu harus pergi jauh ke tengah,” katanya.

Jalur lalu lintas kapal tanker pengangkut batu bara sangat memberatkan nelayan. ”Itu jalur tangkapan ikan nelayan kecil di sekitar Jepara,” ujarnya.

Kapal yang lewat dua kali seminggu itu sering membuat jaring yang ditebar nelayan putus. ”Tergantung posisi kapal dan bentangan jaring. Bisa menghantam seluruh jaring sehingga kerusakannya parah,” lanjutnya. Padahal, harga satu piece jaring Rp 1.250.000. ”Saya harus utang ke BRI Rp 15 juta karena terlalu sering kena,” katanya.

Jalur kapal tanker itu juga merupakan kawasan terumbu karang terkaya di perairan Jepara. Sekitar setahun sebelum PLTN beroperasi, terumbu karang itu dikeruk. ”Sebagian dibuang ke tengah, sebagian lagi untuk menguruk lokasi,” sambung Priyo. Kerusakan terumbu karang itu permanen karena pengerukan berkala demi lancarnya operasi kapal tanker batu bara itu.

Sejak itu, pola serang ikan berubah. Kalau dulu ikan didapat secara merata di sekitar 25-30 jaring yang ditebar, sekarang ikan bergerombol karena terumbu karang hilang. ”Proses pendinginan PLTU itu membuat suhu air laut meningkat,” ujar Lilo Sunaryo dari Masyarakat Rekso Bumi (Marem), yang juga ahli energi.

”Kenaikan suhu satu derajat saja bisa mematikan plankton, padahal itu makanan ikan dan udang kecil. Ikan dan udang kecil adalah makanan ikan yang lebih besar. Jadi rantai makanan terputus,” lanjut Lilo.

Kata Priyo, dulu ikan tongkol Jepara kualitasnya nomor satu dan selalu ada sepanjang tahun. ”Sekarang tongkol seperti itu hanya ada di Karimunjawa,” sambungnya. Jarak untuk mencapai perairan Karimunjawa sekitar 90 kilometer. Bahan bakar yang dibutuhkan jadi berlipat.

”Dulu ongkos Rp 100.000 untuk melaut tiga hari. Sekarang harus Rp 500.000 untuk mendapat hasil seperti dulu,” lanjut Priyo. Itu pun tak bisa diharapkan. ”Kemarin kami bawa bekal Rp 400.000, hasilnya cuma Rp 190.000.”

Masyarakat nelayan yang jumlahnya sekitar 5.000 KK hanya meminta kepada pengelola PLTU agar keluar masuk kapal pada siang hari saja. ”Malam adalah waktu kami menangkap ikan,” ujar Priyo. Mereka pernah mengadukan hal itu kepada pengelola PLTU, tetapi responnya tidak memuaskan. ”Mereka malah berdalih karena kalau bahan bakar terlambat, kerugiannya bisa miliaran rupiah. Padahal sering kapal yang satu pembongkarannya harus tunggu lama karena kapal yang lain belum selesai dibongkar,” katanya.

Selain soal ekonomi, persoalan lain mulai muncul, seperti terkait dengan pernapasan dan gatal-gatal. ”Sekitar Juli-Agustus, panasnya semelet, sampai sakit ke kulit. Dulu tak pernah sepanas ini,” lanjutnya. Partikel debu dari proses pembakaran batu bara katanya juga memengaruhi pertumbuhan padi.

Dampak multidimensi

Desa Balong adalah desa yang hijau. Di kanan kiri jalan pemandangannya merupakan perpaduan hutan, perkebunan cokelat, karet dan kelapa, sawah, dan gunung.

”Siapa bilang wilayah kami gersang,” sergah Aris Susanto (36), menyanggah isu yang diembuskan. ”Tanah di sini sangat subur, pekerjaan banyak.”

Ia juga menyanggah materi sosialisasi yang mengatakan PLTN ramah lingkungan. ”Kalau terjadi apa-apa, radiasinya menyebar, bisa kena semua, termasuk tanaman pangan. Sayur-mayur kita tak bisa lagi dijual. Habis semuanya,” sambung Aris.

Persoalan tanah belum sampai ke Desa Balong, tetapi telah terjadi di Desa Ujung Watu. Desa itu, menurut rencana, merupakan satu dari tiga lokasi pembangunan PLTN sehingga warganya harus dipindahkan. Sementara di Balong, pemerintah tampaknya tak akan kesulitan karena sebagian besar tanah di situ milik PTP Balong-Beji. Lokasi tapak PLTN di Balong terletak di pinggir pantai, sekitar tiga-empat kilometer dari desa. Di desa itu ada petilasan yang dipercayai sebagai makam Syech Siti Jenar.

Ujung Watu, Balong, dan Ujung Grenggengan di Semenanjung Muria, kata Lilo, merupakan tiga lokasi yang dipilih dari 14 lokasi yang disurvei. Namun, menurut Kepala Bapeten As Natio Lasman (52), semua itu baru penjajakan awal. Sampai saat ini, belum ada satu pun lokasi yang telah ditentukan untuk PLTN.

”Lokasi di Balong baru pada tahap studi awal. Pemetaan awal lokasi untuk PLTN digunakan untuk menarik investor nuklir,” ujar Lasman. Nah, siapa bilang isu PLTN hanya soal teknis? (AIK/MH)