PLTN Solusi yang Keliru
Perbaiki Definisi Krisis Energi

ph2007071601786.jpg

Kamis, 27 Maret 2008 | 00:50 WIB

Jakarta, Kompas – Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir adalah keliru. Sementara itu, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, Rabu (26/3), menyatakan, pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan solusi jangka panjang.

Solusi jangka panjang dibutuhkan untuk menghadapi krisis energi listrik di Jawa pada tahun 2025.

Secara terpisah, Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia Rinaldy Dalimi mengungkapkan, perencanaan tersebut keliru karena mengesampingkan potensi sumber energi lainnya yang mengandung risiko lebih kecil.

”Saat ini perdebatan harus dibawa kembali pada pertanyaan, negara ini membutuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) atau tidak. Pemerintah perlu mempertegas masalah ini,” kata Rinaldy di Jakarta.

Perbaiki definisi

Menurut dia, pemerintah perlu memperbaiki definisi krisis energi listrik. Pemerintah juga perlu menyusun kembali perencanaan yang dituangkan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mencantumkan pemenuhan pasokan energi hingga 2025, 2 persen dari PLTN.

Krisis energi listrik selama ini, menurut Rinaldy, disebabkan pemerintah tak memperhitungkan pengembangan teknologi yang memanfaatkan potensi sumber energi yang melimpah, seperti panas bumi dan energi surya.

Rinaldy sebenarnya tidak menolak teknologi nuklir. Namun, ia berpendapat, dengan adanya potensi sumber energi lainnya, saat ini hingga 50 tahun ke depan Indonesia dipandang belum membutuhkan PLTN.

Kusmayanto kemarin menyatakan dibutuhkan keberanian legislatif dan eksekutif untuk menetapkan keberpihakan terhadap pemanfaatan sumber energi lainnya yang dipandang paling berpotensi, seperti panas bumi atau geotermal.

Saat ini diperkirakan energi panas bumi baru dimanfaatkan 4 persen dari potensi energi listrik yang bisa dibangkitkan mencapai 27.000 megawatt.

”Keberpihakan itu jangan semata-mata membandingkan keekonomian pembangkit listrik tenaga panas bumi terhadap migas (minyak dan gas) atau batu bara. Dengan adanya keberpihakan itu nanti akan banyak membantu realisasi kebijakan energi bauran pada 2025,” kata Kusmayanto.

Menurut dia, saat ini PLTN tetap dipandang sebagai salah satu alternatif solusi jangka panjang yang mesti dikaji, dikembangkan, dan disosialisasikan. Langkah ini dimaksudkan agar pemerintah memiliki kesiapan teknologi untuk pembangunan PLTN.

Menurut Rinaldy, tidak ada salahnya mengembangkan pengetahuan teknologi nuklir seperti pada aplikasi PLTN. Namun, semestinya perencanaan tetap memfokuskan pada pemanfaatan sumber daya yang masih melimpah seperti panas bumi.

”Pada 50 tahun yang akan datang barulah diperlukan PLTN. Tetapi, perlu diingat pula kondisi cadangan uranium dunia yang akan habis pada periode 50-80 tahun lagi,” kata Rinaldy.

Sementara itu, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Hudi Hastowo kemarin enggan menyatakan pendapat terkait pernyataan anggota DPR, Alvin Lie dan Sony Keraf, yang meminta pembongkaran fasilitas gedung dan tower di Balong, Jepara, Jawa Tengah.

Fasilitas yang dibangun Batan itu bagi sebagian masyarakat merupakan simbol bahwa pemerintah serius membangun PLTN di Semenanjung Muria tersebut.

”Sejauh ini keberadaan fasilitas gedung dan tower yang dibangun Batan itu tidak ada masalah,” kata Hudi. (NAW)